Guru Muda Bertugas di Daerah Terpencil
Beberapa anak muda perkotaan, lulusan perguruan tinggi, mempunyai
pekerjaan hebat dengan gaji besar, meninggalkan semua status itu demi menjadi
guru. Mereka adalah para pengajar muda yang mengikuti program Indonesia
Mengajar, ditempatkan di daerah-daerah terpencil selama setahun. Seperti apa
pengalaman mereka?
Reporter KBR68H, Ayu Poernamaningrum ikut menjemput kedatangan
guru-guru muda yang sudah selesai menjalankan tugas. Juga ikut mengantar
kepergian anak-anak muda yang siap menjalani pengabdian sebagai guru.
Ajib Pambayu dan Dwi Gelegar Gilang adalah guru-guru muda yang
dikirim ke daerah terpencil selama setahun. Ajib mengajar di Pulau Bajo, Dusun
Terosubang, Kepulauan Halmahera.
Desa nelayan
"Jadi itu desa nelayan. Sebagian besar masyarakatnya hidup di atas laut.
Jadi memang tradisi orang Bajo bahwa kalau mereka hidup itu mengisi di daerah
pesisir dulu baru mengisi daratannya. Desanya kecil sekali. Kalau saya
mendayung sampai ke tengah, kemudian saya lihat desa itu."
Sedangkan Gilang dikirim ke desa pesisir Tanjung Aru, Paser,
perbatasan Kalimantan Timur dan Selatan.
"hampir semuanya itu nelayan semua, petambak kepiting udang,
dan sebagainya. Desanya itu terisolir karena jalan daratnya putus. Jadi memang
tak bisa lewat sama sekali. Jadi ketika ke mana-mana kita harus naik kapal.
Desanya dengan rumah-rumah panggung karena kalau air pasang, airnya naik
semua."
Sebelum berangkat, Ajib adalah seorang peneliti perikanan lulusan
Institut Pertanian Bogor, sedangkan Gilang bekerja sebagai Staf Humas di
Universitas Paramadina, Jakarta.
Keduanya meninggalkan pekerjaan demi menjadi Pengajar Muda lewat program yang
dikembangkan Yayasan Indonesia Mengajar.
Pendiri yayasan itu, Anis Baswedan.
Siapa yang mau?
"Di tempat yang kurang guru kita tempatkan guru. Pertanyaannya siapa yang
mau. Kita menyimpulkan sebetulnya orang bukan nggak mau jadi guru, mereka hanya
nggak mau jadi guru seumur hidup dengan fasilitas dan reward yang seperti ini. Kita
bayangkan kalau mengundang anak-anak terbaik menjadi guru selama setahun. Kita
waktu itu yakin bisa."
Sebagai orang kota
di daerah terpencil, proses adaptasi menjadi perjuangan awal bagi Ajib dan
Gilang. Awalnya bagi masyarakat Pulau Bajo, Kepulauan Halmahera,
Ajib dianggap orang aneh. Sedangkan di Tanjung Aru, Kalimantan Timur, guru-guru
mencurigai Gilang sebagai petugas pengawas korupsi.
Sahabat
Proses adaptasi berhasil mereka lalui. Persoalan berikutnya adalah menghadapi
anak-anak siswa. Gilang dan Ajib berusaha mendapat tempat di hati anak-anak
dengan menjadi sahabat mereka. Caranya, dengan mengajak jalan-jalan ke pantai,
berfoto dan bermain bersama.
Datang sebagai guru, tugas utama yang dihadapi Gilang dan Ajib
adalah memotivasi anak-anak untuk belajar. "Jadi ketika kita baru pertama
ngajar, mereka diem aja. Kan malu kan," cerita
Gilang.
Buat apa?
"Mereka berpikir pendidikan buat apa sih Pak? Toh ntar jadi nelayan juga
kok di sini. Kan
sama bapak-ibunya nggak boleh keluar dari desa ini. Setelah lulus SD, entah
kawin atau jadi nelayan. Awalnya harus kasih tahu yang sederhana. Misalnya,
kenapa harus sekolah, kenapa harus belajar IPA dan matematika. Sesuatu yang
sederhana dan menarik hati mereka."
Ajib dan Gilang adalah bagian dari 51 Pengajar Muda angkatan
pertama. Setelah setahun bertugas seusai masa program, mereka kembali ke Jakarta.
Program Indonesia Mengajar masih berjalan. Kini sudah memasuki
angkatan ketiga, yang baru saja memberangkatkan para guru-guru muda ke berbagai
daerah dua pekan lalu.
Rizki Handika atau Eki dan Fitri Utami Ningrum adalah peserta
angkatan ketiga Indonesia Mengajar. Keduanya lulusan Universitas Indonesia.
Eki adalah bekas pegawai sebuah perusahaan konsultan asing. Sedangkan Fitri
bekas konsultan lembaga keuangan mikro.
Mereka terpilih dari 5000-an pendaftar program Indonesia Mengajar.
Selama dua bulan mereka dan 45 Pengajar Muda lainnya mendapat pembekalan.
Seleksi ketat
1800-an anak muda mendaftar di awal program ini. 51 orang terpilih dan
berangkat ke sejumlah daerah untuk menjadi guru. Angkatan kedua diminati
4000-an anak muda dan berhasil menjaring 70-an guru muda. Mereka yang terpilih
adalah anak-anak muda yang lolos seleksi ketat.
Setelah lolos penyaringan, para pengajar muda mengikuti pembekalan
yang lebih diarahkan pada membangun jiwa kepemimpinan dan mendidik anak. Materi
kepemimpinan dan kependidikan sangat penting karena kebanyakan tak punya latar
belakang pendidikan.
Namun, yang lebih penting para guru muda terpilih karena mereka
rela melepaskan pekerjaan dan hidupnya yang sudah mapan, demi menjadi guru di
daerah terpencil dengan minim kesejahteraan. Manajer Umum Indonesia Mengajar Eko Budi Wibowo.
"Angkanya itu satu pengajar muda mulai dari rekrutmen sampai
mereka kembali itu, sekitar 140-an juta per pengajar muda. Komponen terbesar
itu untuk biaya hidup mereka di sana.
Kalau gaji hanya 2 juta per bulan. Bayangkan dia ikut program ini hanya untuk
mendapatkan dua juta rupiah."
Tantangan
Rizki Handika atau Eki dan Fitri Utami Ningrum siap menyambut tantangan,
menggantikan para guru muda angkatan pertama. Mereka siap memberikan sumbangan,
meski kecil, bagi dunia pendidikan negeri ini.
"Ketika gue belajar menjadi guru, gue sering di kelas merasa
terharu, nangis sendiri. Gila ya dulu betapa kita sering menyepelekan omongan
guru di depan kelas. Mereka berdiri di depan kelas kita nggak dengerin.
Ternyata jadi guru nggak semudah itu men. Teknis-teknis itu penting. Yang
paling penting karakter. Lu oke punya teknis, punya pengetahuan, tapi kalau lu
nggak punya karakter ya gimana," demikian Fitri.
Sementara Eki berkata: "Saya pribadi sih siap untuk
terkejut. Apa pun yang ada di sana
kita hadapi aja, kita jalani saja. Semua butuh adaptasi. Tapi segalanya
insyaallah bisa berjalan lancar lah kalau memang kitanya sudah niat dan berbaur
dengan masyarakat di sana."
·
Para guru muda menyanyikan lagu hyme guru